Rabu, 20 Oktober 2010

Katanya : ” SBY itu bikin kita lebih sejahtera lho”

Tadi pagi, sebelum berangkat kerja biasanya kami sekelurga menyimak berita pagi di televisi. Ketika ada berita mengenai demonstrasi kedatangan SBY di Makasar dan Berita rencana demonstrasi di Jakarta memperingati Setahun Pemerintahan SBY-Boediono, Ibu saya berkomentar “Kasihan ya, Kalo Presiden yang datang disambutnya dengan demo, Ko kemarin Anang dan Syahrini datang ke Pulau Muna disambut dengan sukacita dan diarak seperti telah mengharumkan nama bangsa?”.

Jawaban saya “Situasi politik lagi panas bu”, (Jawaban yang kurang bagus, tadinya saya mau jawab “mungkin lagu Anang-Syahrini lebih enak didengar :D )

Kemudian ketika ada opini mengenai pemerintah dinilai gagal, ibu saya kembali berkomentar “Kalau buat guru (Bapak saya seorang guru) SBY itu memberikan kesejahteraan yang lebih baik ko, tiap tahun kita dapat gaji ke-13, udah gitu kita juga dapet gaji sertifikasi” Itu kata ibu saya

Saya hanya menjawab, namanya juga politik bu :) , Ini adalah jawaban yang tidak bagus tapi dengan jawaban ini ibu saya mengerti. Kemudian saya mengatakan, korban lumpur Lapindo pasti punya jawaban yang beda dengan ibu, masih banyak yang bertahan di pengungsian, dan nasib ganti rugi tanah mereka juga masih banyak yang belum selesai.

Disini saya melihat bahwa penilaian pemerintahan berhasil atau tidak dimata orang awam (bukan pakar politik, ekonomi, dll) tergantung pada kelompok mana yang ditanya. Ibu saya mewakili istri dari seorang guru yang mengalami perbaikan kesejahteraan. Saya tidak akan memungkiri hal ini, mungkin jika gaji bapak saya masih seperti zaman Suharto, saya tidak yakin saya dan adik saya bisa kuliah. Nasib guru pada saat itu seperti yang didendangkan Iwan Fals dalam lagu Oemar Bakri. Hanya dininabobokan dengan lagu dan gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Baru setelah era Habibie, nasib guru mulai ada perbaikan. Tapi bukan SBY yang membuat saya bisa kuliah, karena saya masuk kuliah di era pemerintahan Megawati.

Saya harus berterimakasih karena pemerintah telah memberikan kesejahteraan yang lebih baik untuk bapak saya dan guru-guru Indonesia. Tapi bunyi Sila Ke-5 Pancasila belum berubah, masih “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, Bukan untuk kelompok tertentu saja.

Saya juga tidak bisa menutup mata, masih banyak guru-guru honorer yang sudah puluhan tahun mengabdi dan belum jelas kapan diangkat menjadi PNS. Saya juga tidak bisa menutup mata dari korban lumpur Lapindo yang masih belum terselesaikan. Polisi sibuk menangkap kelompok yang diduga teroris, padahal teror yang paling dirasakan rakyat adalah teror ledakan gas konversi minyak tanah (kebijakan pemerintah). Puluhan rakyat meninggal, dan ratusan mengalami luka bahkan cacat seumur hidup.

Anggota dewan yang katanya terhormat itu juga selalu saja melakukan hal-hal yang menyakiti hati rakyat, minta dana aspirasi, renovasi gedung, studi banding ke luar negeri, dll. Walaupun masih ada anggota dewan yang masih bisa kita harapkan, yang berani menolak usulan dari anggota dewan lain, saya ucapkan terimakasih kepada mereka.

Menurut saya bukan hanya kabinet yang harus di evaluasi, tapi juga para wakil rakyatnya.

Jika Menteri di evaluasi oleh Presiden, kemudian presiden di evaluasi oleh MPR, Berarti MPR harus dievaluasi oleh rakyat dan mereka harus mau mendengarkan aspirasi rakyat. Tapi rasanya banyak dari anggota dewan kita memiliki “imunitas” terhadap kritikan, dan bekerja mengikuti kepentingan Partai politiknya. (Kalau begini apa gunanya kita memilih wakil rakyat secara langsung, kenapa tidak pilih partai saja seperti dulu, hanya menuhin kertas suara saja )

Pemerintah dan Anggota Dewan yang katanya Terhormat, Mohon jangan biarkan kami menyesali biaya pesta demokrasi yang telah dikeluarkan dari pajak rakyat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar