Sabtu, 31 Oktober 2009

Gerakan Nasional Dukungan Terhadap KPK

Andika Gunadarma Puisi bagus dari mas Tulus Wijanarko Redpel Koran Tempo

SAJAK KAUM CICAK

Kami tahu tanganmu mencengkeram gari
karena kalian adalah bandit sejati
Kami tahu saku kalian tak pernah kering
karena kalian sekumpulan para maling
Kami mahfum kalian memilih menjadi bebal
sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal
Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
demikianlah takdir para pecundang
Kami mengerti otak kalian seperti robot
meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot
Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan
karena kalian memang hanyalah gerombolan budak
yang meringkuk jeri di mantel sendiri
Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara
karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
dan akan melawan tak henti-henti
kami tahu
kalian gemetar,
Kami sangat tahu
kalian sungguh gemetar!

Buat teman-teman yang peduli dengan bangsa ini dan buat yang ingin mendukung KPK, Hari Senin tanggal 2 November mohon untuk menggunakan pakaian hitam atau pita hitam di lengan....

SAVE THE NATION, STOP THE CONSPIRACY!

Buat yang ga bisa, ikut do'a aja ya ^^








Senin, 19 Oktober 2009

PENGEMIS, DKK. (SEBUAH POTRET KEMISKINAN ATAU KEMALASAN?)

Hari ini saya agak sedikit terusik dengan ocehan dan teriakan seorang banci. Sekitar jam 3 sore, ada bunyi kecrek2 dan datanglah seorang banci dengan kostum banci pada umumnya mulai bernyanyi dengan suara yang stereo, Sang Banci tak ada yang menghiraukan satupun. Sang Banci mulai ngoceh, “duh mentang2 sama banci ya pada nyuekin” kita tetap tak bergeming dan tetap sibuk dengan pekerjaan masing2, Sang Banci emang berani masuk kantor, padahal di pintu ada tulisan “ Selain karyawan dilarang masuk” (apa sang Banci ga bisa baca ya?!) Maklum di kantorku tidak ada satpam. Setelah lama Sang Banci mulai ngoceh lagi, mulai mengocehiku (Mungkin karena saya yang sering ketemu ni Banci dan ngasih dia duit, Hari ini saya memutuskan untuk tidak memberinya karena dia udah terlalu sering, minggu ini aja udah dua kali) “ Bu Haji minta dong” saya diam “ Ih Itu yang pakai kerudung (hanya saya) ga bisa dengar ya!” saya tetap tak bergeming, kasian si sebenernya tapi saya bosan juga kalo udah keseringan!. Akhirnya seorang teman ga tahan juga denger ocehannya.. (Banci ini kalo belum dikasih ga bakal pergi dan akan duduk manis di kursi tamu)

Selain Banci, minggu ini saya juga ketemu beberapa pengemis, tapi mereka lebih sopan, hanya di depan pintu ga berani masuk kedalam. Memang kasian si melihat fisik mereka, saya tidak tahu suami istri, adik kakak, atau teman sependeritaan. Yang bapak tua memegang tongkat, sepertinya dia buta. Dan yang satunya perempuan tua mengaping Bapak Tua Berjalan..

Pemandangan Banci Pengamen dan Pengemis bukan minggu ini saja saya lihat, tapi sangat sering (setiap hari). Apakah ini sebuah potret kemiskinan atau kemalasan???

“ Fakir Miskin dan Anak Terlantar Dipelihara oleh Negara” ini menurut UUD’45. dan Realitasnya memang Fakir Miskin dan Anak Terlantar “dipelihara” oleh Negara, sampai-sampai jumlah mereka semakin bertambah. Sangat ironis. Ketika ada pengajian di Mesjid Agung, Puluhan Pengemis siap menunggu sedekah di setiap pintu masuk dan pintu keluar. Kebanyak adalah perempuan setengah baya dan anak-anak.

Sebelumnya saya hanya simpati terhadap pengemis perempuan dan anak-anak2. (Tidak bermaksud bias gender). Kalo laki-laki, masih kuat, masih cukup muda rasanya saya ogah ngasih. Tapi sekarang saya bingung, mau perempuan, mau anak2 ternyata mereka ada koordinatornya dan setor uang hasil mengemis kepada mereka. Bahkan banyak pengemis yang punya rumah dan kendaraan bermotor. Hey, berarti uang yang aku kasih belum tentu bisa dinikmati mereka, atau ternyata aku ngasih orang pemalas dan sebenarnya tidak berhak aku kasih. Bahkan, katanya yang balita-balita yang digendong itu banyak yang sewaan. Ckckckck..... Jadi kita harus bagaimana?? Saya jadi bingung harus bagaimana sama mereka, mo ngasih takut dia punya koordiantor, atau sebenarnya dia ga miskin (Pengemis karena profesi bukan karena benar-benar miskin). Ga ngasih rasanya suka tidak tega melihat orang yang cacat, tua renta, dan perempuan yang membawa2 balita.

Waktu kuliah, saya pernah kenal seorang anak kecil yang mengemis. Dia sering main di kampus. Menurut pengakuannya, dia masih sekolah, waktu itu kelas 3 SD. Dan Ibunya memang tidak mampu dan hanya bekerja serabutan, Ayahnya entah kemana. Kalo saya dan teman-teman mau membelikan dia makanan, dia suka nolak dan minta mentahnya. (waduh, matre juga ni anak :p ). Sebenarnya sih tidak mendidik dengan terus memberikan dia uang kalo ketemu. Tapi hati yang bicara, rasanya tidak tega...

Sebegitu menjanjikannyakah profesi tersebut?? Sampai-sampai mereka membuang jauh2 rasa malu dan menengadahkan tangan kepada setiap orang, atau karena mereka tidak punya modal dan keterampilan untuk bekerja? Atau tidak ada lapangan pekerjaan untuk mereka?

Sebenarnya saya lebih menghargai banci yang bekerja di salon daripada yang menjadi PSK atau pengamen. Saya juga lebih menghargai perempuan yang menjadi PRT, baby sitter, buruh cuci dsb daripada menjadi pengemis. Dan saya lebih senang melihat anak-anak berada di sekolah atau bermain dengan teman2 sebayanya, bukan di jalan, mengamen dan meminta2.

Pemerintah rasanya belum melakukan sesuatu yang signifikan untuk menangani masalah ini, selain dengan melakukakan razia dan mengirimnya ke Depsos. Tapi ini saya rasa belum efektif, karena kebanyakan dari mereka kembali ke pekerjaan semula sebagai pengemis, preman, PSK, pengamen, dll. Entah karena pekerjaan lama lebih menghasilkan atau enatah apa.

Rakyat kita butuh Pendidikan, Modal, Kesempatan Berwiraswasta (persaingan yang sehat) dan Lapangan Pekerjaan yang mampu menyerap tenaga kerja dari berbagai sektor dan latar belakang pendidikan. Empat hal tersebut harus dapat terpenuhi secara bersama-sama. Modal tanpa ada kesempatan berwiraswasta dalam sebuah atmosfir persaingan yang sehat adalah sia2. Pendidikan gratis atau murah tanpa Lapangan pekerjaan yang luas hanya akan menambah jumlah pengangguran.

Semoga akan terlahir pemimpin yang mampu membawa Indonesia kedalam kemakmuran. Saya tidak peduli mau menggunakan sistem pemerintahan seperti apa, sistem politik macam apa, demokratis atau tidak, yang penting bisa membuat Indonesia menjadi Negara Makmur.

Saya adalah orang yang menganggap Indonesia terlalu memaksakan diri menjadi negara demokratis. Sepengatahuan saya dalam sebuah teori demokrasi, salah satu prasyaratnya adalah Kemakmuran. Apakah Indonesia sudah makmur?? Kalo Indonesia sudah makmur, Pemerintah ga perlu pusing mikirin dana Pemilu mau satu putaran, dua putaran, tiga putaran atau berputar-putar sekalipun. Amerika perlu ratusan tahun untuk menjadi negara Demokratis seperti sekarang ini.

Ini hanya suara hati saya....

CELANA PANJANG VS KEBEBASAN DI SUDAN

Seorang wanita Sudan menarik perhatian media internasional, setelah dia diadili atas dakwaan mengenakan busana yang dinilai tidak pantas di tempat umum.

Dalam suatu razia, polisi menahan Lubna Ahmed al-Hussein yang bercelana panjang saat berpesta di sebuah restoran.

Perkara ini berlanjut ke pengadilan dan memicu debat mengenai kebebasan, norma adat dan keagamaan.

Pada hari pertama kasus tersebut disidangkan, massa pendukung Lubna Ahmed al-Hussein berkumpul di luar gedung pengadilan di Khartoum.

Mereka memekikkan semboyan kebebasan. Sekretaris jenderal Persatuan Wanita Sudan, Doktor Ihsan Fagiri, mengatakan, dia ikut berdemo untuk menyoroti perlunya kebebasan yang lebih longgar bagi masyarakat Sudan.

Seorang pendukung lain Lubna al-Hussein, aktivis HAM Sudan Doktor Nahid Tobia nekat mengambil risiko dengan mengenakan celana panjang ke pengadilan.

"... andai saja bisa menentukan, saya akan haruskan semua orang mengenakan celana panjang," kata Nahid.

Doktor Nahid Tobia mengakui orang-orang seperti dirinya memang memiliki posisi yang lebih kuat daripada banyak wanita lain di Sudan.

"Sayangnya, Lubna atau saya sendiri dan orang-orang seperti kami mendapat perlindungan hingga kadar tertentu," ujarnya.

Doktor Nahid Tobia mencontoh penuturan seorang wanita yang bekerja sebagai pembersih di rumahnya.

Wanita itu biasa mengenakan jubah hitam, seperti wanita di Arab Saudi, katanya.

"Lalu, saya kepada dia 'mengapa kamu mengenakan pakaian ini?', dan dia mengatakan, 'karena jika saya berjalan dengan mengenakan celana panjang, mereka akan menahan saya. Petugas akan mencoba meminta saya membayar seratus dollar. Dan, jika saya tidak membayar, mereka akan mencambuk kami'," tutur Nahid.

Memilih pasrah

Lubna al-Hussein ditahan di sebuah restoran bulan Juli. Ada 12 wanita lain yang juga mengenakan celana panjang seperti dirinya.

Sepuluh orang wanita yang ditahan memilih pasrah dan langsung menerima sanksi 10 cambukan.

Sedangkan, al-Hussein dan dua wanita lain memilih melawan di pengadilan. Dan, mantan wartawan itu kemudian didakwa melanggar pasal 152 kitab hukum pidana Sudan. Pasal tersebut melarang orang berbusana "tidak pantas" di tempat umum.

Pada awalnya, kasus terhadap Lubna al-Hussein bergantung pada apakah hakim menyatakan pengadilan bisa mengadili dia, seperti dijelaskan wartawan BBC di Sudan, James Copnall.

"Pada saat pelanggaran terjadi, menurut pengadilan Sudan, Lubna Hussein dipekerjakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan dengan demikian semestinya mendapat kekebalan diplomatik, dan tidak akan bisa dituntut," katanya.

Namun, Lubna memutuskan mengundurkan diri dari posnya di PBB agar bisa menghadapi kasus ini. "Dia bertekad untuk menantang undang-undang. Dia bertekad untuk mengubah undang-undang," tambahnya.

Menjelang sidang, Lubna al Hussein berhasil mengubah pengadilan terhadap dirinya sebagai forum kampanye publik.

Dengan memanfatkan jaringan kontaknya, Lubna yang pernah menjadi wartawan berhasil mengundang wartawan untuk hadir dan meliput sidangnya.

Isu kebebasan

Menurut wartawan BBC James Copnall, perkara Lubna al-Hussein mengundang reaksi keras dari berbagai pihak di dalam Sudan.

"Ini benar-benar menjadi uji kasus bagi hak kaum wanita di Sudan, dan perkara ini benar-benar membuat pendapat publik di sini terpecah-pecah," atanya.

Bagaimana pun Lubna Ahmed al-Hussein akhirnya dinyatakan melanggar hukum. Namun, dia tidak dihukum 40 kali cambukan.

Sebagai sanksi, dia kemudian mendapat pilihan membayar denda atau menghuni sel penjara selama satu bulan.

Meski vonis telah keluar, perkara Lubna ini mencerminkan benturan antara nilai Islami dan tradisional Sudan dan gagasan kebebasan seperti yang diyakini Lubna al-Hussein.

Dan, norma adat dan norma keagamaan memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat Sudan, kata Auzai Mahfudz, mahasiswa Indonesia yang tengah merampungkan program master di bidang ilmu hadis di Omdourman, Sudan.

Kasus Lubna Hussein memang sudah selesai di ruang sidang. Namun, banyak aktivis yakin, debat mengenai hak atas kebebasan bagi wanita dan nilai-nilai tradisional di Sudan masih akan berlanjut.

source : www.bbc.co.uk