Senin, 19 Oktober 2009

PENGEMIS, DKK. (SEBUAH POTRET KEMISKINAN ATAU KEMALASAN?)

Hari ini saya agak sedikit terusik dengan ocehan dan teriakan seorang banci. Sekitar jam 3 sore, ada bunyi kecrek2 dan datanglah seorang banci dengan kostum banci pada umumnya mulai bernyanyi dengan suara yang stereo, Sang Banci tak ada yang menghiraukan satupun. Sang Banci mulai ngoceh, “duh mentang2 sama banci ya pada nyuekin” kita tetap tak bergeming dan tetap sibuk dengan pekerjaan masing2, Sang Banci emang berani masuk kantor, padahal di pintu ada tulisan “ Selain karyawan dilarang masuk” (apa sang Banci ga bisa baca ya?!) Maklum di kantorku tidak ada satpam. Setelah lama Sang Banci mulai ngoceh lagi, mulai mengocehiku (Mungkin karena saya yang sering ketemu ni Banci dan ngasih dia duit, Hari ini saya memutuskan untuk tidak memberinya karena dia udah terlalu sering, minggu ini aja udah dua kali) “ Bu Haji minta dong” saya diam “ Ih Itu yang pakai kerudung (hanya saya) ga bisa dengar ya!” saya tetap tak bergeming, kasian si sebenernya tapi saya bosan juga kalo udah keseringan!. Akhirnya seorang teman ga tahan juga denger ocehannya.. (Banci ini kalo belum dikasih ga bakal pergi dan akan duduk manis di kursi tamu)

Selain Banci, minggu ini saya juga ketemu beberapa pengemis, tapi mereka lebih sopan, hanya di depan pintu ga berani masuk kedalam. Memang kasian si melihat fisik mereka, saya tidak tahu suami istri, adik kakak, atau teman sependeritaan. Yang bapak tua memegang tongkat, sepertinya dia buta. Dan yang satunya perempuan tua mengaping Bapak Tua Berjalan..

Pemandangan Banci Pengamen dan Pengemis bukan minggu ini saja saya lihat, tapi sangat sering (setiap hari). Apakah ini sebuah potret kemiskinan atau kemalasan???

“ Fakir Miskin dan Anak Terlantar Dipelihara oleh Negara” ini menurut UUD’45. dan Realitasnya memang Fakir Miskin dan Anak Terlantar “dipelihara” oleh Negara, sampai-sampai jumlah mereka semakin bertambah. Sangat ironis. Ketika ada pengajian di Mesjid Agung, Puluhan Pengemis siap menunggu sedekah di setiap pintu masuk dan pintu keluar. Kebanyak adalah perempuan setengah baya dan anak-anak.

Sebelumnya saya hanya simpati terhadap pengemis perempuan dan anak-anak2. (Tidak bermaksud bias gender). Kalo laki-laki, masih kuat, masih cukup muda rasanya saya ogah ngasih. Tapi sekarang saya bingung, mau perempuan, mau anak2 ternyata mereka ada koordinatornya dan setor uang hasil mengemis kepada mereka. Bahkan banyak pengemis yang punya rumah dan kendaraan bermotor. Hey, berarti uang yang aku kasih belum tentu bisa dinikmati mereka, atau ternyata aku ngasih orang pemalas dan sebenarnya tidak berhak aku kasih. Bahkan, katanya yang balita-balita yang digendong itu banyak yang sewaan. Ckckckck..... Jadi kita harus bagaimana?? Saya jadi bingung harus bagaimana sama mereka, mo ngasih takut dia punya koordiantor, atau sebenarnya dia ga miskin (Pengemis karena profesi bukan karena benar-benar miskin). Ga ngasih rasanya suka tidak tega melihat orang yang cacat, tua renta, dan perempuan yang membawa2 balita.

Waktu kuliah, saya pernah kenal seorang anak kecil yang mengemis. Dia sering main di kampus. Menurut pengakuannya, dia masih sekolah, waktu itu kelas 3 SD. Dan Ibunya memang tidak mampu dan hanya bekerja serabutan, Ayahnya entah kemana. Kalo saya dan teman-teman mau membelikan dia makanan, dia suka nolak dan minta mentahnya. (waduh, matre juga ni anak :p ). Sebenarnya sih tidak mendidik dengan terus memberikan dia uang kalo ketemu. Tapi hati yang bicara, rasanya tidak tega...

Sebegitu menjanjikannyakah profesi tersebut?? Sampai-sampai mereka membuang jauh2 rasa malu dan menengadahkan tangan kepada setiap orang, atau karena mereka tidak punya modal dan keterampilan untuk bekerja? Atau tidak ada lapangan pekerjaan untuk mereka?

Sebenarnya saya lebih menghargai banci yang bekerja di salon daripada yang menjadi PSK atau pengamen. Saya juga lebih menghargai perempuan yang menjadi PRT, baby sitter, buruh cuci dsb daripada menjadi pengemis. Dan saya lebih senang melihat anak-anak berada di sekolah atau bermain dengan teman2 sebayanya, bukan di jalan, mengamen dan meminta2.

Pemerintah rasanya belum melakukan sesuatu yang signifikan untuk menangani masalah ini, selain dengan melakukakan razia dan mengirimnya ke Depsos. Tapi ini saya rasa belum efektif, karena kebanyakan dari mereka kembali ke pekerjaan semula sebagai pengemis, preman, PSK, pengamen, dll. Entah karena pekerjaan lama lebih menghasilkan atau enatah apa.

Rakyat kita butuh Pendidikan, Modal, Kesempatan Berwiraswasta (persaingan yang sehat) dan Lapangan Pekerjaan yang mampu menyerap tenaga kerja dari berbagai sektor dan latar belakang pendidikan. Empat hal tersebut harus dapat terpenuhi secara bersama-sama. Modal tanpa ada kesempatan berwiraswasta dalam sebuah atmosfir persaingan yang sehat adalah sia2. Pendidikan gratis atau murah tanpa Lapangan pekerjaan yang luas hanya akan menambah jumlah pengangguran.

Semoga akan terlahir pemimpin yang mampu membawa Indonesia kedalam kemakmuran. Saya tidak peduli mau menggunakan sistem pemerintahan seperti apa, sistem politik macam apa, demokratis atau tidak, yang penting bisa membuat Indonesia menjadi Negara Makmur.

Saya adalah orang yang menganggap Indonesia terlalu memaksakan diri menjadi negara demokratis. Sepengatahuan saya dalam sebuah teori demokrasi, salah satu prasyaratnya adalah Kemakmuran. Apakah Indonesia sudah makmur?? Kalo Indonesia sudah makmur, Pemerintah ga perlu pusing mikirin dana Pemilu mau satu putaran, dua putaran, tiga putaran atau berputar-putar sekalipun. Amerika perlu ratusan tahun untuk menjadi negara Demokratis seperti sekarang ini.

Ini hanya suara hati saya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar